Jatuh? Bangkitlah!

Suatu malam aku terbangun dan susah untuk tidur kembali. Kuambil ponselku dan mulai melihat-lihat apa yang bisa kulihat hingga kutemukan foto di bawah ini. Kami tersenyum dengan posisi tangan memberkati. Sarat makna dan indah untuk dikenang.

Belum lama dari foto ini diambil, bisnis kami hancur berantakan yang menyisakan hutang yang amat banyak dan semua harta terjual untuk menutupi kerugian yang amat besar. Walau ada kesempatan lari dari tanggung jawab, kami tak mengambil kesempatan itu, semua kewajiban kami selesaikan semampu kami karena motto hidup kami adalah lebih baik disakiti daripada menyakiti. Walau begitu, tersisa ratusan juta hutang pajak.
Bisnis kami hancur karena secara mendadak teman-teman yang kami latih bekerja di bisnis meninggalkan kami, mereka membuka usaha yang persis sama dengan usaha kami tanpa sepengetahuanku. Begitu mengetahui hal itu, jujur saja, hatiku terguncang, namun aku berikrar untuk tidak akan marah, sakit hati dan mendendam pada mereka. Doaku saat itu agar TUHAN mengajariku untuk melihat dan memetik mutiara berharga dari kisah itu.
Mereka adalah teman-teman baikku, yang kuterima bekerja dan kulatih agar mampu bekerja. Aku peduli pada mereka hingga banyak waktu dan uang yang kuhabiskan untuk melatih mereka sanggup bekerja. Bahkan tak sedikit syaraf yang rusak akibat marah-marah karena tak sanggup mengendalikan hati melihat beberapa dari mereka sangat susah dimotivasi agar melatih diri dengan baik. Dan belakangan saya dengar, mereka membuka usaha sendiri karena ada satu orang yang sakit hati akibat saya marahi. Padahal tujuan saya marah agar dia berubah. Berkali-kali saya bujuk dan motivasi tapi tidak mau berubah. Ya, saya salah. Marah itu tidak perlu. Itu menyakitiku.
Pada saat mereka akan pergi, berkali-kali kumohon agar mereka jangan pergi, tapi mereka berkeras untuk tetap pergi. Wajar rasanya aku marah lalu membenci mereka, namun aku berikrar bahwa aku akan berjuang agar tidak marah apalagi membenci mereka. Mereka adalah teman-temanku, aku peduli dan tujuanku melatih mereka agar mereka mampu bekerja. Hingga akhirnya aku berterimakasih pada mereka. Dengan sikap mereka itu aku belajar memahami cinta kasih yang lebih tinggi, mengasihi orang-orang yang menyakitiku, walau sesungguhnya mereka bukan menyakitiku, tapi sedang mengujiku, membagikan ilmu yang sangat berharga padaku. Hingga kini kami berteman baik, saling bantu dan tolong menolong.
Tak lama dari bisnisku hancur, papa pergi meninggalkanku, disusul oleh abang hanya dalam waktu yang sangat dekat, tiga bulan kemudian. Aku jatuh sakit. Badai yang aku hadapi sungguh berat, bertubi-tubi. Mama pun pergi untuk selamanya, hanya satu setengah tahun dari papa pergi. Hilanglah orang-orang yang aku sayangi, tempatku biasa mengadu dan berkeluh kesah. Bisnis hancur, pengangguran, kedua orang tua dan abang meninggalkanku selamanya. Rasanya hidup ini tak adil, terlalu kejam.
Walau begitu hidup terus berjalan, kami berjuang untuk tidak kesal pada kondisi, tidak marah pada TUHAN, tidak membenci siapa pun, terlebih tidak membalaskan semua yang terjadi pada siapa pun. Kami berjuang untuk terus tersenyum dan bersyukur serta belajar iklhas. Kami belajar dan berbenah diri untuk suatu saat tampil lebih baik lagi dan menebar kebaikan ke mana pun kaki kami melangkah.
Selama tiga tahun aku bertapa dan mengurung diri dalam kamarku, merenung dan berjuang untuk memetik makna hidup dari semua yang terjadi padaku dan memutuskan untuk tidak mengeluh atas apa pun yang sudah, sedang dan akan terjadi selanjutnya. Aku memutuskan untuk terus berusaha melakukan kebaikan-kebaikan walau ada yang menganggapnya bukan kebaikan. Aku berjuang membuang rasa trauma, baik trauma berbisnis terlebih trauma menolong sesama. Karena apa pun yang terjadi adalah kebaikan, semua baik.
Perlahan-lahan situasi membaik. Tax Amnesty diberlakukan. Kami ambil kesempatan baik itu dan kami sangat dibantu oleh petugas pajak, luar biasa baiknya, padahal kami tidak punya hubungan apa pun. Legalitas usaha kami benahi kembali.
Tiga tahun dari aku jatuh sakit, ponselku berdering. “Pak, saya mau beli aluminium composite panel satu lembar.” Selama tiga tahun ponselku berdiam dari urusan bisnis namun saat itu berdering walau hanya menghasilkan uang dua ratus ribu rupiah. Rasa senangku tak bisa kututupi. Bahagia, terharu karena selama tiga tahun aku tak menghasilkan uang satu rupiah pun.
Itu awal kebangkitan semangatku, Rp 200.000′- Jumlah yang sangat besar bagiku, rasanya seperti mendapatkan uang milyaran di masa lalu.
Aku ajak keluarga kecilku menikmatinya karena merekalah aku masih bertahan hidup hingga saat itu.
“Horeee…papa kerja lagi…” kata putri kecilku. Hampir menangis aku melihat kepolosannya yang jujur namun ceria.
Sering anak-anak bertanya, “Papa sakit apa? Kenapa ngga kerja? Kenapa mama yang kerja? Kami maunya papa yang kerja dan mama di rumah nemani kami.”
Istriku, wanita luar biasa, tegar dan tangguh laksana bukit batu. Dalam kondisiku yang sangat tidak berdaya bahkan tidak berarti, sekali pun dia tak pernah bersungut bahkan mengeluh. Dia terus bersemangat memotivasiku untuk bangkit dan bersemangat. Dia bekerja keras demi kami bisa makan dan anak-anak bisa sekolah.
Motivatorku adalah mereka bertiga, istri dan kedua anakku. Namun motivator terbaikku adalah diriku sendiri.
Sejak Mei tahun 2017 TUHAN memberikanku “kesempatan hidup kembali”, dan aku mau selama sisa hidup ini aku akan “berjalan bersamaNya” kemana pun kakiku melangkah.
Kisahku ini biasa saja bahkan terlalu biasa bagi sebagain orang walau bagiku ini luar biasa. Tujuanku membagikannya hanya satu: “Jika jatuh bangkitlah apa pun yang orang lain ucapkan tentangmu. Tetap semangat dan berjuang bagi keluargamu, bagi orang-orang yang kamu kasihi. Tetap damai walau dalam badai terberat sekalipun. Tetap sehati dengan anggota keluarga apa pun yang terjadi. Terus tebar kebaikan walau dicibir karena kebaikan akan terus membuntutimu kemana pun kamu pergi. Terus tebar kasih sayang pada semua orang sekalipun pada orang-orang yang menyebabkan hidupmu terlihat susah, sejatinya mereka bukan menyusahkanmu, tapi hanya sedang menguji bathinmu apakah tetap bajik atau tidak.”
Tak ada peselancar tangguh yang dihasilkan oleh riak-riak air di tepi pantai, karena peselancar tangguh hanya dihasilkan oleh ombak besar yang menantang.

Comments

Popular posts from this blog

Berhentilah Membenci Pemarah

Sepuluh Tips Agar Tahan Lama Di Atas Ranjang

Mengakui Yesus Kristus